Beranda | Artikel
Bekam Tidak Membatalkan Puasa
Sabtu, 5 Agustus 2006

BEKAM TIDAK MEMBATALKAN PUASA

Oleh
Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr

1. Dari seseorang, dia bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَيُفْطِرُ مَنْ قَاءَ أَوْ مَنِ احْتَلًمَ وَلاَ مَنِ احْتَجَمَ

Tidak batal puasa orang yang muntah atau orang yang bermimpi (basah) dan tidak juga orang yang berbekam“.[1]

2. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, awal dimakruhkannya bekam bagi orang yang berpuasa adalah ketika Ja’far bin Abi Thalib berbekam sedang dia dalam keadaan berpuasa, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpapasan dengannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kedua orang ini telah batal puasanya”. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringan berbekam bagi orang yang berpuasa. Sementara Anas sendiri pun pernah berbekam ketika dia dalam keadaan berpuasa. [2]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan :
Ucapannya : “Bab Ayyatu Saa’atin Yahtajim (bab kapan waktu untuk berhijamah)”. Dalam riwayat Al-Kasymihani. Yang dimaksud dengan sa’ah dalam terjemahan adalah waktu yang tidak terikat (umum), bukan waktu yang khusus dan diketahui setiap waktu.

Ucapannya : “Abu Musa pernah berbekam pada malam hari” telah dikemukakan di dalam kitab Ash-Shiyaam (puasa). Di dalamnya disebutkan bahwa penolakannya untuk berbekam pada siang hari karena puasa, sehingga puasanya tidak rusak. Hal itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik. Di mana dia memakruhkan bekam bagi orang yang berpuasa sehingga puasanya tidak rusak. Alasannya juga bukan karena bekam akan membuat batalnya puasa seseorang

Pada pembahasan sebelumnya dalam hadits :

أَفْطَرَ الْحَا جِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam“. (*)

Mengenai waktu-waktu bekam yang tepat telah dimuat di dalam beberapa hadits yang bukan termasuk suatu syarat sama sekali. Seakan-akan dia mengisyaratkan bahwa bekam itu bisa dilakukan kapan saja dibutuhkan dan tidak terikat waktu, karena dia menyebutkan pernah berbekam pada malam hari. Dia menyebutkan hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam sedang beliau dalam keadaan puasa. Itu menunjukkan bahwa proses pembekaman terjadi pada siang hari.

Menurut pada dokter, bekam yang paling baik dilakukan adalah pada jam dua atau jam tiga siang. Tidak boleh dilakukan setelah berhubungan badan (jima) atau aktivitas berat lainnya, dan tidak boleh setelah kenyang atau ketika tidak lapar. Sebelumnya telah disampaikan hadits penentuan waktui-waktu bekam, yaitu di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara marfu.

Di dalamnya disebutkan : “Maka berbekamlah atas kehendak Allah pada hari Kamis, dan berbekamlah pada hari Senin dan Selasa. Hindarilah berbekam pada hari Rabu, Jum’at, Sabtu dan Ahad”. Dia meriwayatkan melalui dua jalan yang lemah. Ia memiliki jalan ketiga yang juga dinilai dha’if menurut Ad-Darauthni di dalam kitab Al-Afraad. Diriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar secara mauquf. Al-Khallal menukil dari Imam Ahmad bahwasanya dimakruhkan berbekam pada hari-hari tersebut, meskipun hadits tersebut tidak tsabit. Diceritakan bahwasanya ada seorang laki-laki berbekam pada hari Rabu, maka dia pun terkena penyakit kusta. [3]

[Disalin dari buku Manhajus Salaamah Fiimaa Waradaa Fil Hijaamah, Edisi Indonesia Bekam Cara Pengobatan Menurut Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Penulis DR Muhammad Musa Alu Nashr, Penerjemah M Abdul Ghoffar E.M, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2376), Ibnu Khuzaimah (no. 1973 dan 1975). Dan sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat kitab Shahiihul Jaami (no. 7619). Dan Takhriij Al-Misykaat (2015)
[2]. Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni (II/182), Al-Baihaqi (no. 8086), Ad-Daraquthni mengatakan : “Para rawinya secara keseluruhan tsiqah dan saya tidak mengetahui adanya cacat baginya”. Di dalam kitab Fathul Baari, Ibnu Hajar mengatakan : “Perawinya secara keseluruhan merupakan perawi-perawi Imam Al-Bukhari”.

(*). Penjelasan di hal. 100 –ed
Jumhur ulama memberikan jawaban atas hadits tersebut dan makna yang terkandung didalamnya, bahwa hal itu telah mansukh (dihapus) dengan dalil-dalil yang mereka jadikan hujjah, yang secara jelas menyatakan adanya nasakh (penghapusan), dan menafikan beberapa jalan Syaddad bin Aus, bahwa hal itu berlaku pada masa pembebasan kota Makkah tahun kedelapan. Sementara Ibnu Abbas menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berihram pada haji Wada tahun kesepuluh.

Dan telah diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam sedang beliau tengah berihram dan berpuasa

[3]. Fathul Baari (X/149)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1904-bekam-tidak-membatalkan-puasa.html